Masa kecilku | eps. 1

Aku hanya anak kecil yang tak tahu apa-apa. Saat aku berusia empat tahun ibuku pergi meninggalkanku, nenek bilang kalau ibu mau kerja dan tempatnya sangat jauh jadi aku gak boleh ikut. 

Yang ku ingat waktu itu, aku digendong oleh nenek. Lalu orang yang kupanggil ibu menciumiku sebelum akhirnya dia pergi dan tak kembali lagi untuk sekian lamanya. Dan yang aku lakukan kala itu hanya menangis. 

Ayahku, aku tak tahu dia di mana, kenapa dia tak bersama ibuku?

Selepas kepergian mentariku...

Aku tinggal di sebuah rumah sederhana yang berisikan lima tubuh. Ada seorang kakak laki-laki, paman, nenek, kakek, dan aku.

Hari ini kebetulan hari Minggu, hari libur katanya. Tapi buatku sama saja, yang berbeda ada kakak ku di rumah. Aku biasa nonton tv atau bermain dengannya. Walaupun cuma sebentar, karena kakakku lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Dan aku ditinggal sendiri. 

Pagi, sarapan dengan telor mata sapi plus kecap manis. Ditemani film kartun kesukaan ku chalkzone. 

" Ih, belom mandi. Bauuu." Ledek kakakku.

" Biarin." Jawabku ketus. 

" Kakak mandiin, ya? Ayooo." 

" Tar aja dehh." 

" Entarnya kapan? Bohong luh." Jari telunjuknya menyolek hidungku.

Setelah sesi tanya jawab yang lumayan panjang. Akhirnya...

" Tapi, kalau filmnya udah selesai, ya!" 

" Okeh..." Kali ini telapak tangan kanannya menepuk jidatku.

" Awww." Ringisku karena tepukannya yang walaupun tak menyakitkan.

_

" Kenapa tv-nya tiba-tiba mati, apa mati lampu?"

"Ayo...ayo...ayo...waktunya mandi!" 

Bukan mati lampu. Kakak tanpa sepengetahuan ku mengambil remote tv-nya, lalu dengan sengaja mematikannya. 

"Iya..." Kataku.

Kakiku berjalan menuju kamar mandi begitu lambat, kalian pasti tahu bahwa aku tak bersemangat.

Maybe, mandi memang selalu menjadi hal yang membosankan bagi anak-anak. 

Aku lupa ini yang ke berapa, karena kakakku yang satu ini memang suka memandikanku. Tapi aku tak pernah lupa kalau aku sering tertawa karena geli saat dimandikannya. Hihihi...

Oh, iya. Aku takut dishampoo makanya aku jarang keramas. Soalnya shampoo selalu membuat mataku perih. 

" Sekalian keramas, ya?" Tanya kakakku.

" Gak mau, perihh" Tolakku.

" Gak bakalan percaya deh!" Balasnya.

I always lose when I argue with him.

"Meremin matanya!" Suruh kakak.

Dengan terpaksa ku pejamkan mataku walaupun hanya sebelah

" Udah, Kak" 

" Dua-duanya dong, kalau cuma satu perih nantinya, dekku. Tenang Kakak gak bakal berubah jadi hantu kok."

" Kakak tahu aja isi pikiran adek"

" Kakak juga kan pernah kecil"

" Berarti kakak penakut dong?" Entah ini pertanyaan atau seharusnya tanda seru, tapi aku tertawa kecil saat mengatakan itu.

Dan...

"Byuuurrr" Suara segayung air yang membasahi rambutku. Kini bukan hanya tubuhku yang merasa dingin tapi sekujur tubuhku. Tak berapa lama tercium bau harum dari benda yang tak pernah aku sukai. Ya, siapa lagi kalau bukan shampoo. 

Nyaman rasanya saat kedua tangan kakak memijat-mijat rambut dan kepalaku. Namun tetap saja rasa takut itu masih ada bahkan aku sempat memberontak tak bisa diam saat kakak membasuh rambutku. Singkat cerita, sesi keramas pun selesai. Ku buka mataku dan tak ada sama sekali rasa perih. "Dia memang paling bisa soal memandikanku juga menepati janjinya." Kata hatiku.

Menyusul seluruh ritual mandi pun ikut selesai.

" Udah, pake baju sana" kakak sehabis memakaikan sebuah handuk di tubuhku.

" Makasih, Kakak" Kataku dengan malu.

" Iya, adek" Jawabnya sambil nyengir.

Sekeluarnya dari kamar, aku benar-benar celingukan mencari seorang anak laki-laki yang lebih berumur dariku serta bertubuh tinggi itu. Kemana dia pergi atau dimana dia. Aku tak tahu, sebab dia menghilang begitu saja tanpa jejak.

" Kakak... Kakak..." Teriakku.

" Kak Adnan..." Lagi.

" Cari Adnan, ya ?" Kata nenek. Aku tahu iya pasti mendengar teriakanku yang 

" Iya, Kaka mana, Nek?"

" Kaka sudah pergi tadi pas kamu masuk kamar."

" Kira-kira perginya ke mana, nek?"

" Katanya sih ke rumah temannya"

" Lama gak, nek?"

" Pulangnya paling tar sore"

" Yah, ditinggal lagi " kataku dengan nada yang berbeda dan raut wajah manyun.

" Emangnya kenapa kalau Kakakmu pergi nanti juga pulang lagi?" Nenek.

" Aku kan pengen main sama kak Adnan, masa kak Adnan ilang terus." Aku

Karena kebiasaan Kak Adnan yang pergi gak bilang-bilang. Akhirnya, aku memutuskan untuk menerima ajakan nenek untuk pergi ke suatu tempat yang namanya sawah. 

Kami pergi dengan mengendarai sepasang sandal, yah istilahnya jalan kaki. Berawal dari jalan kecil atau gang dengan beberapa rumah kami lewati hingga sampailah di suatu jalan yang lebih sempit lagi dari gang, kata nenek ini namanya galeng kalau dalam bahasa sunda atau pemantang kecil dalam bahasa Indonesianya. Nenek memintaku untuk berjalan di depannya, karena memang pemantang ini hanya muat untuk satu orang.

Setelah berjalan beberapa langkah nenek berkata " Ini yang namanya sawah, Keenan."

" Oh, ya!" 

" Lihat disana, tanahnya dibuat kotak-kotak dan tanaman yang tumbuh itu kamu tahu tanaman apa?"

" Enggak, emang tanaman apa?"

" Namanya padi, tanaman ini yang nantinya jadi nasi yang tiap hari kita makan."

" Kok beda ya, Nek? Ini kuning kalau nasi warnanya putih?"

" Oh, kalau itu karena dia belum terpisah dari cangkangnya. Jadi harus digiling atau ditumbuk dulu."

Perbincangan antara aku dan nenek terhenti saat aku terkejut melihat di dekat tanganku ada ulat berwarna abu-abu yang seluruh tubuhnya penuh bulu. Dia cukup membuatku takut bahkan bulu kudukku sampai berdiri. 

" Jangan kaget kalau di sini banyak ulat, kan udah mau musim panen"

Entah apa hubungannya mau musim panen sama ulat, aku tidak begitu paham maksud nenek. " Memangnya ulat suka padi yang keras?" Pertanyaan dari otakku.

" Yah, udah kagetnya baru aja"

" Berarti nanti jangan kan udah dikasih tahu"

" Siap, nek" 

Kaki-kaki kami masih menapaki pemantang kecil yang semakin lama tanahnya semakin becek dan licin. Pasti karena sedang musim penghujan. Aku yang belum terbiasa berjalan di pemantang kecil merasa kalau ini bukanlah hal yang mudah.

" Di pemantang yang tanahnya kering aja udah susah, apalagi tanahnya becek dan licin begini?" 

Sampai akhirnya aku bertanya kepada nenek apakah di sini masih ada jalan lain yang tidak becek, mungkin semacam jalan pintas atau jalan beraspal. Tapi nenek menjawab, tak ada jalan semacam itu untuk sampai ke sana. Sekalinya ada itu menuju sawah orang lain.

Ini sudah ke empat kalinya aku hampir terjatuh ke sawah. Untungnya ada nenek yang selalu siap memegangi tanganku setiap saat. Kalau tidak, bayangkan saja sendiri. Hihi...tubuh basah kuyup dengan lumpur. Iauuu...

Tiba-tiba langkah kaki nenek berhenti, aku yang berada di depannya lantas menengok kebelakang.

" Kenapa kita berhenti?"

" Kita sudah sampai"

Dan sekarang, aku tahu kalau ternyata sawah milik nenek tak jauh dari rumah. Hanya butuh waktu sebentar saja untuk sampai ke sana.

"Ayo, kita berteduh di sana." Ajak nenek dengan tangan menunjuk ke suatu tempat mirip rumah yang berada tepat di sebelah kanan kami. Hanya dengan lima langkah dan sebuah jembatan kayu kecil, panjangnya kira-kira 1 meter dan lebar setengahnya, aku udah sampai di sana.

" Kamu mau berdiri aja di situ?" 

Aku menggelengkan kepala, lalu mendekatinya dan duduk pula di sampingnya.

Setelah itu, mata ku tak henti-hentinya memandangi rumah ini. Rumah yang benar-benar aneh, tak seperti rumah lainnya. Sangat kecil, tak ada dinding, tak ada lampu, cuma ada balai bambu dan atap sederhana dari jerami. 

" Nek, ini rumah siapa, kok begini?" 

Nenek tertawa mendengar pertanyaanku. 

"Keenan, ini bukan rumah, walaupun terlihat mirip. Ini namanya Saung. Tempat berteduh orang-orang saat berada di sawah." 

"Oh, saung"

"Yang punya siapa?"

" Pak Burhan"

" Ohhh..."

" Kalau sawah nenek yang mana?" 

" Satu, dua." Jempolnya menunjuk dua kotak sawah yang berada di depan saung.

" Dua saja? Tak ada lagi?"

" Tak ada, cuma dua."

Nenek mengatakan padaku, dia akan pergi untuk melihat-lihat keadaan padi, beserta pohon kelapa, dan nangka miliknya. Aku yang bersemangat memilih untuk membuntutinya.

"Nek, Kenapa mereka dibuang kan kasihan?" Kataku. Melihat nenek memunguti keong-keong dari sawahnya, memasukannya ke dalam sebuah kantong kresek.

" Mereka juga hama, sama seperti ulat."

Aku hanya diam, mencoba untuk paham. Tapi itu tak berhasil.

Di samping sawah ada lima buah pohon kelapa yang sudah tinggi-tinggi. Semuanya berbuah, ada yang masih muda dan sudah tua. Mereka sama seperti kita. Sedangkan pohon nangka cuma dua, satu berbuah dan satunya tidak. Yang berbuah pun belum matang. Yah, aku datang di waktu yang kurang tepat. 

Entah berapa sudah berapa lama aku berjalan, tapi kakiku mulai pegal. Makanya aku memutuskan untuk kembali ke saung dan beristirahat di sana.

Saat beristirahat, aku menemukan sesuatu yang tergantung, seperti sebuah kain. Karena penasaran aku tarik dan memang benar, ini sebuah ayunan dari kain yang terikat di langit-langit pada sebuah kayu. 

Tanpa pikir panjang, ku jatuhkan badan ku di atasnya, sesekali ku ayunkan agar bergerak. Nikmat sekali rasanya berbeda dari naik ayunan biasanya.

"Aku mau ke rumah bapak, kamu mau ikut?" Kataku kepada seseorang. 

Dia mengiyakan. Kami pun pergi dengan sebuah sepeda, dia memboncengiku. Hanya sebentar kami sudah sampai di sebuah rumah ala-ala tempo dulu. Di depannya sudah ada orang tua dari bapakku. Aku berbincang-bincang bahagia dengan mereka, namun aku tak menemui bapak.

Aku terbangun tanpa alasan. 

" Mimpi yang terasa nyata." Ucap batinku.

Pantas saja rumah bapak yang jauh bisa aku kunjungi hanya dengan mengayuh sepeda. "Aneh.."

Bunga tidur

"Hanya dalam mimpi hal-hal tak mungkin bisa terjadi." Ia juga menyisakan tanya, maksudnya apa?"


"Dapat..." 

Aku mendengar suara, tapi suara siapa itu dan dari mana?

Ku lihat depan, kanan, dan kiri, tapi nihil tak ada siapa-siapa. Jangan-jangan hantu. Mungkin gak sih ada hantu di siang bolong kaya gini? Oh, iya belakang saung aku belum melihatnya. Dengan perasaan yang agak takut aku melihat ke belakang saung. Hasilnya masih sama, tak ada siapa-siapa.

"Gimana kalau itu hantu beneran, mana aku sendirian doang, nanti gak bisa lawan dong" Kataku sambil ngomong sendiri.

Aku beranjak dari ayunan menuju ke balai bambu, karena aku merasa aman di situ.

"Mending aku tidur aja lagi." 

Bukannya tidur, mataku hanya terpejam. Lelah bertahan seperti itu, akhirnya aku buka juga kantung mata ini sambil berdoa.

Tiba-tiba, di depan saung sudah ada dua orang anak. Tinggi mereka hampir sama, yang satu berambut panjang diikat, dan yang satu tak berambut, iya...dia botak. Apa aku tak salah lihat, ku pejamkan mataku, ku buka kembali. Yang kulihat tak salah. 

Aku ingin berteriak memanggil nenek, dan mengatakan padanya kalau ada hantu di sini. Namun aku tidak bisa, susah untuk kulakukan, suaraku seakan habis. Aku hampir saja menangis karena ketakutan. 

" Hai..." Kata anak perempuan yang diikat rambutnya. Dia tersenyum sambil melambaikan tangan padaku.

" Jangan takut, aku juga manusia. Lihat kedua kakiku menapak di tanah"

Aku bengong untuk beberapa saat, hingga akhirnya tersenyum. Dia mendekatiku, lalu mengajakku bersalaman. 

" Aku Tania, siapa namamu?"

 "Keenan" sambil menjabat tangannya.

 Aku mengira mereka itu hantu habis yang satu kepalanya botak. 

" Kalau dia, Eva." Sambil menunjuk ke seorang anak yang berkepala botak.

" Hai... Eva." Sapaku.

Di membalasku dengan sebuah senyuman. 

"Dia memang pemalu"

"Oh, ya" kataku.

" Iya" 

" Pantas dia tak mengatakan apapun."

" Tapi kamu penakut" 

" Kamu tahu dari mana?"

" Aku lihat kamu tadi hampir menangis."

" Belum lama kita kenal, kamu sudah tahu bagaimana aku. Oh, iya. Kalian dari mana?"

" Dari bawah sana, tepat di belakang saung ini"

"Pantas aku tak melihat kalian."

" Kalian sedang apa di sini?"

" Mencari ikan."

" Menangkap ikan maksudnya?"

" Heem. Mau ikut? Seru loh!"

" Boleh."

"Ayo"

Dia menarik tanganku dan mengajakku berlari lalu berhenti secara mendadak di sebuah tempat. yang kata mereka sih hawangan atau yang lebih dikenal sebagai anak sungai. 

" Sudah sampai."

" Oh, di sini toh?"

" Memangnya kenapa kalau di sini."



Bersambung...




Komentar

Postingan Populer